Sore ini aku mengantar Randai pergi
ke sebuah desa untuk menjalankan tugasnya. Sebagai mahasiswa fakultas hukum, ia
merasa jenuh dengan setiap aktifitas kampus. Dan Randai pun memilih untuk menggunakan waktu luang dengan mencari suasana
baru. Setiap sabtu sore dan minggu pagi, ia selalu ke pergi desa kecil ini
untuk mengajarkan baca dan menulis anak-anak desa yang tidak mampu untuk
sekolah. Dan sore ini Randai mengajakku.
Desa ini sangat asri dan tentram.
Hanya saja pendidikannya jauh dari kata layak. Tidak ada bangunan sekolah,
hanya rumah-rumah reyot dan hamparan sawah yang cukup luas. Aku memandangi
Randai yang semangat mengajarkan membaca di sebuah saung. Randai hanya bermodal
sebuah papan tulis hitam dan satu kotak kapur tulis. “panggilan hati..” alasan
Randai untuk mengajar anak-anak desa yang haus akan ilmu ini. Dan aku lihat
murid-murid yang dengan patuh mengikuti ajaran Randai. Namun tidak hanya
anak-anak yang duduk tenang di saung itu. Seorang kakek tua ikut belajar membaca
dan menulis bersama anak-anak berumur sepuluh tahunan. Kira-kira umur kakek itu
sekitar tujuh puluh tahunan, tapi kenapa masih ikut belajar membaca dan
menulis?
Aku penasaran.
Ketika Randai memberi kesempatan
kepada muridnya untuk beristirahat sebentar, aku pun menghampiri kakek itu dan
bertanya.
“assalamualaikum.. kakek ikut
belajar di sini juga?” tanyaku
“waalaikumsalam. Iya nak..” jawab
kakek itu dengan senyum tenang.
“memang berapa umur kakek?”
“sepuluh tahun” lagi-lagi kakek itu
menjawab dengan senyum tenang. Aku tak mengerti maksud kakek itu mengatakan
bahwa umurnya adalah baru sepuluh tahun. Padahal rambut putihnya sudah banyak
sekali. Aku saja baru berumur dua puluhan belum tumbuh rambut putih. Aku
semakin penasaran.
“maaf kek, maksud kakek baru berumur
sepuluh tahun?” tanyaku dengan lebih penasaran.
“iya”
jawabnya dengan senyum tenang
lagi. Aku semakin bingung. Kakek itu melirikku dan tertawa. “begini nak,
kakek
mengaku bahwa masih berumur sepuluh tahun karena kakek merasa baru
benar- benar
hidup selama 10 tahun. Umur kakek sebenarnya sudah enam puluh tahun.
Hanya saja
dulu kakek tidak memanfaatkan umur kakek yang lima puluh tahun itu
dengan baik.
Kakek hidup di bawah harta orang tua. Kakek tidak mau sekolah dan
belajar. Dan
ketika kedua orang tua kakek sudah tiada, kakek menggunakan harta
warisan untuk
kesenangan sendiri. Setiap hari menghabiskan uang di club. Sampai
akhirnya
harta itu habis dan sejak itu kakek tidak punya apa-apa lagi. Mau
mencari kerja
pun tidak bisa karena tidak bisa menulis dan membaca. Belajarlah yang
baik nak, jangan sampai seperti kakek yang tidak memanfaatkan umur yang
diberikan Allah. Jangan seperti kakek yang telah membuang lima puluh
tahun dengan sia-sia".
Aku terenyuh mendengar cerita kakek itu. Ilmu memang tidak akan datang dengan sendirinya. Kita harus berusaha mencari dan memanfaatkan ilmu tersebut. Maka kita akan menjadi seseorang yang bermanfaat. Karena dengan ilmu, baru kita bisa merasakan apa yang dinamakan hidup.
Aku terenyuh mendengar cerita kakek itu. Ilmu memang tidak akan datang dengan sendirinya. Kita harus berusaha mencari dan memanfaatkan ilmu tersebut. Maka kita akan menjadi seseorang yang bermanfaat. Karena dengan ilmu, baru kita bisa merasakan apa yang dinamakan hidup.
Komentar
Posting Komentar