TOCCA
By : Hayfa N.
Amatulloh
Aku melangkahkan
kaki memasuki gerbang sekolah baruku. Seminggu yang lalu, Mama memutuskan untuk
tinggal di Indonesia setelah berpisah dengan Papa. Tidak masalah bagiku, karena
sejak dulu aku selalu penasaran dengan kampung halaman Mama ini. Papa memang
asli orang Eropa, dan menikah dengan Mama yang asli orang Indonesia. Kemudian
melahirkanku dan tinggal di Italia. Tak heran jika aku memiliki sepasang mata
berwarna biru yang pastinya turunan gen dari Papa, dan rambutku hitam panjang bergelombang
indah turunan dari Mama.
Karena keturunan
Asia-Eropa tersebut, seketika aku menjadi pusat perhatian satu sekolahan. Tapi
aku tidak mempedulikannya, aku hanya terus berjalan lurus mencari ruang guru.
Setelah urusan administrasi selesai, seorang bapak-bapak berkumis tebal
mengantarkanku menuju salah satu kelas yang berada di lantai dua, yang akan
menjadi kelas baruku.
Kebetulan aku
cukup fasih berbicara Bahasa Indonesia. Karena Mama selalu mengajakku bicara
menggunakan Bahasa kampung halamannya. Sehingga aku tidak kesulitan
berkomunikasi dengan para guru di sekolah ini. Dan otomatis akan lebih mudah
juga ketika berinteraksi dengan teman-teman baru di sekolah ini. SMA Terresa,
sekolah baruku di Negara baruku.
Sebenarnya ada
rahasia besar yang aku sembunyikan dari semua orang. Tak terkecuali kedua orang
tuaku. Aku memiliki sebuah kelebihan dari remaja seumurku pada umumnya. Aku
bisa membaca pikiran dan merasakan perasaan orang lain jika aku bersentuhan
dengan kulitnya. Sengaja ataupun tidak, aku dapat merasakan apa yang sedang
dirasakan oleh orang tersebut sekaligus apa yang sedang dipikirkannya. Aku
menyadari kelebihanku ini sejak masih elementary school di Italia.
Kemudian,
setelah memperkenalkan diri, Bu Dini menyuruhku duduk di bangku paling belakang
sebelahan dengan seorang cowok yang rambutnya berantakan. Karena hanya bangku
tersebut yang masih kosong di kelas baruku ini. Kelas XI IPA 1.
Aku melemparkan
senyum pada cowok yang belum ku tahu namanya itu. Kemudian aku mengulurkan
tangan hendak berkenalan dan sedikit iseng ingin mengetahui apa yang dipikirkan
oleh cowok disebelahku ini.
“Hai! Aku Airin.
Namamu?”
“Ihsan”. Cowok
itu menyebutkan namanya singkat tanpa sedikitpun menoleh kearahku dan tidak
menghiraukan uluran tanganku. Aku mengerutkan kening dan cepat menyimpulkan
bahwa cowok disebelahku ini orang yang sombong. Akupun menghela nafas dan
menarik kembali tanganku kemudian mengabaikan cowok dingin dan sombong itu.
Hari pertama yang buruk, mendapatkan teman sebangku seperti cowok ini. Menyebalkan.
Saat jam
istirahat tiba, hampir semua teman kelasku mengajak berkenalan dan bersalaman.
Sedikit licik memang, memanfaatkan kelebihanku untuk mengetahui kesan pertama mereka
terhadapku. Sebagian besar teman sekelasku memiliki kesan yang positif terhadapku.
Syukurlah, setidaknya aku tidak memiliki musuh di hari pertama sekolah ini.
Tapi terkadang aku geli sendiri mengetahui apa yang mereka pikirkan tentang
aku. Cukup unik, dan aku senang mendengarnya. Seperti “Wah, dapet temen
bule!!”, atau “Matanya asli atau pake softlens ya?”. Dan masih banyak
lagi kesan-kesan mereka yang membuatku senang. Licik tapi menyenangkan bukan.
Ya, semoga saja aku bisa berteman baik dengan teman sekelasku ini.
Tapi masih ada
satu hal yang membuatku heran dan kurang nyaman berada di kelas baruku ini.
Ihsan, teman sebangkuku sangat tidak bersahabat. Dia menjawab pertanyaanku
seperlunya saja, dan berbicara sangat irit. Aku semakin penasaran dengan cowok
satu ini. Tidak seperti cowok-cowok lain yang berusaha dekat dan akrab denganku.
Tapi Ihsan malah sebaliknya. Padahal aku teman sebangkunya, tapi ia tetap
dingin seperti es.
Seminggu
berlalu, tak pernah ada percakapan panjang antara aku dan Ihsan. Bahkan
membahas mata pelajaran pun bisa dihitung dengan jari. Terkadang aku berpikir
bahwa ia membenciku. Ia tidak suka duduk sebangku denganku. Tapi mau bagaimana
lagi, tidak ada bangku kosong lagi selain di samping cowok es itu.
Ihsan, orang
yang sangat acuh. Tak pernah peduli dengan dengan sekitarnya. Apa dia berpikir
bahwa hanya ada dia seorang di dunia ini?. Sampai mengabaikan hampir seluruh
orang-orang di sekitarnya. Bahkan mengabaikan orang yang duduk di sebelahnya.
Pagi ini, ruang
kelas sudah cukup ramai saat aku sampai. Tapi cowok es itu belum juga datang.
Aneh, biasanya dia selalu datang lebih awal dari siapapun siswa di SMA Terresa
ini.
“Pagi Airin!”
Mika yang dudukdua bangku di depanku menyapa. Aku membalas sapaan Mika dengan
tersenyum. “Si cowok misterius, belum datang?” Tanyanya.
“Cowok
misterius?”Aku heran.
“Iya, teman sebangkumu
itu, Rin. Dia kan, misterius banget. Nggak pernah ngomong”
“Oh, iya. Aku
sampai bosan duduk disini”
“Hahaha kasian,
dia orangnya memang begitu, tertutup. Dan selalu nunduk. Kalau diajak ngomong
juga kaya nggak lagi ngomong sama kita. Bikin kesel”. Aku hanya menyeringai,
kemudian mengangguk membenarkan apa kata Mika barusan. Tak lama kemudian, orang
yang dibicarakan pun datang. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Datang, duduk,
tanpa menyapa siapapun, kemudian langsung fokus dan tenggelam dengan buku yang
ia bawa. Hah, membosankan.
Istirahat pun
tiba. Aku malas pergi ke kantin, padahal tadi Mika sudah mengajakku. Di
sebelahku, cowok es itu sedang asik dengan bukunya. Melihat sekilas judul buku
yang ia baca, aku langsung tahu bahwa buku tersebut adalah buku tentang pesawat
dan penerbangan.
“Ihsan!”
Panggilku memberanikan diri. Aku benar-benar ingin tahu kenapa ia begitu
dingin. Tapi cowok es itu tidak lepas dari bacaannya. Sungguh menyebalkan.
“Ihsan! Kenapa
sih jutek banget?. Nggak suka aku duduk sebangku denganmu?” Aku tidak menyerah.
Ihsan melirikku sekilas kemudian menggeleng.
“Terus? Kenapa
jutek, acuh, menyebalkan?” tanyaku lagi.
“Nggak mau
temenan sama orang licik” Jawab Ihsan sambil menatap tepat ke arah mataku.
Keningku berkerut, tidak mengerti.
“Licik? Aku?” Oh
ayolah, aku hanya ingin tahu apa yang cowok ini pikirkan tentang aku.
“Aku hebat, jadi
aku tahu” Katanya lagi. Apa? Oh God, jangan-jangan dia…..
“Jangan-jangan
apa? Bisa baca pikiranmu? Sama sepertimu bukan?” Aku semakin terkejut, dia
benar-benar bisa membaca pikiranku.
“Jadi, selama
ini kau membaca pikiranku?” tanyaku panik. Ihsan menoleh cepat.
“Nggak lah! Aku
bisa membaca pikiran dan merasakan perasaan orang lain jika menatap tepat ke
arah matanya. Makanya aku menunduk kalau ngomong sama orang. Nggak licik
sepertimu. Haha”
Aku tertegun,
untuk pertama kalinya cowok es itu tertawa di hadapanku. Ternyata, wajahnya
begitu ehm, enak dipandang. Ternyata Ihsan memiliki senyum yang indah.
“Harus diingat,
aku baru sekali baca pikiranmu, barusan. Karena aku nggak licik” Ihsan
menegaskan di kata licik, menyindirku.
“Iya… sorry.
Kita bisa berteman kan?” Aku mengulurkan tangan. Ihsan menoleh dan menatap
mataku dalam. Pasti ia sedang membaca pikiranku. Tapi kali ini aku tulus ingin
berteman dengannya, bukan hanya penasaran. Kemudian menyambut uluran tanganku
dan tersenyum. Demi apapun, senyumnya sangat indah. Aku terpaku menatapnya.
Setelah kejadian
beberapa hari lalu, Ihsan jadi lebih terbuka kepadaku. Dibalik sikapnya yang
dingin, ia mempunyai sifat humoris dan sedikit konyol. Tak jarang Ihsan
membuatku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kekonyolannya ketika bercerita
pengalamannya. Akhirnya kita bisa berteman akrab dan kompak saling menjaga satu
sama lain.
Ihsan pernah
menceritakan tentang orang-orang istimewa seperti kami. Orang yang mempunyai
kelebihan berbagai macam, dan hanya ada satu dari setiap negara. Hanya
orang-orang terpilih, yang pastinya terlahir di negara tersebut. Aku tak
menyangka ternyata aku satu-satunya yang memiliki kelebihan tersebut di Italia.
Sedangkan Ihsan satu-satunya di negara Indonesia.
Dua bulan
berlalu. Aku dan Ihsan menjadi sahabat yang akrab. Ia selalu mengingatkanku
untuk memakai sarung tangan. Berjaga-jaga agar aku tidak membaca pikiran dan
merasakan perasaan orang lain sembarangan. Jangan jadi orang licik.
Begitu kata Ihsan menasehatiku. Sedangkan aku selalu dijadikan pendengar oleh
Ihsan. Ia bercerita tentang apapun kepadaku. Mulai dari keluarga,
teman-temannya, sampai pengalaman waktu ia masih sekolah TK. Sehingga aku
mengenal Ihsan hampir seluruh hidupnya.
Aku senang
menjadi sahabat Ihsan. Aku senang menjadi pendengarnya. Aku senang menjadi
pendengar cerita-cerita Ihsan ketika kita makan siang bersama. Aku senang bersama Ihsan
kapanpun dan dimanapun. Awalnya, aku memang senamg pada Ihsan karena kami
memang berteman dan bersahabat. Aku menyukainya juga karena ia teman yang asik
dan sama sepertiku, memiliki kelebihan. Tapi akhir-akhir ini aku merasakan ada
suatu hal yang berbeda. Terkadang aku ingin memilikinya seorang diri. Terkadang
juga aku cemburu jika Ihsan berbicara dengan perempuan lain di kelasku, padahal
aku tahu mereka sedang membicarakan tentang pelajaran. Atau aku iri pada Mika yang
satu kelompok pelajaran ketika pelajaran kimia.
Kacau. Aku
canggung kalau Ihsan sedang bercerita. Aku selalu berusaha menghindar dari
pandangannya, takut Ihsan bisa membaca pikiranku dan mengetahui bahwa aku
menyukainya lebih dari seorang teman ataupun sahabat.
Senin pagi aku
datang lebih awal dari biasanya. Entah kenapa tiba-tiba saja Mama ingin
mengantarku ke sekolah. Sehingga sarung tanganku pun tertinggal di atas
tempat tidur. Sesampainya di kelas, baru ada tiga orang temanku yang sedang
fokus dengan bukunya masing-masing. Aku ingat, bahwa pagi ini ada ulangan
fisika. Pelajaran pertama pula. Dan Ihsan pun sama, sedang serius dengan buku
bank soal fisikanya. Aku menghampiri meja dan duduk di sebelah Ihsan. Berusaha
bersikap senormal mungkin. Padahal dadaku sudah bergemuruh hebat.
Ihsan tidak
terusik sedikitpun dengan kehadiranku. Ia selalu begitu, acuh. Karena bosan,
akupun mengeluarkan buku catatan fisika dan mengulang rumus-rumus yang semoga
saja keluar saat ulangan nanti. Tapi aku kurang konsentrasi. Mataku nakal
sering melirik ke sebelah. Hanya untuk mendapatkan pemandangan yang
menggetarkan hati. Tapi tiba-tiba,
“Rin! Pinjam
tip-ex” aku tersentak. Sedikit kaget dengan suara Ihsan yang tiba-tiba itu.
“Rin!” ulang Ihsan.
“Eh, iya apa?”
tanyaku sedikit canggung.
“Kaget gitu,
pinjam tip-ex” jawab Ihsan sedikit menyeringai. Aku melengos dan mengambil
tip-ex dari tempat pensil. Setelah menggunakan tip-ex, Ihsan menaruhnya di atas
meja.
Tak lama
kemudian bel masuk pun berbunyi, dan Pak Rio pun datang dengan membawa setumpuk
kertas. Teman-temanku riuh mengeluhkan bahwa mereka belum tuntas belajar fisika
untuk ulangan hari ini. Tapi Pak Rio tegas minta ampun, ia tetap membagikan
kertas ulangan untuk kami kerjakan. Aku tidak banyak berkomentar, dan berkonsentrasi
pada ulanganku.
Satu jam lewat.
Aku hampir menyelesaikan soal-soal yang membuat keriting itu. Cukup sulit, aku
harus beberapa kali menghitung ulang karena tidak mendapat jawaban di pilihan
a,b,c,d ataupun e. Akhirnya aku bisa menyelesaikan soal terakhir yang menurutku
sangat sulit. Eh tunggu, sepertinya ada yang kurang pas dengan jawabanku ini.
Oh, aku salah menghitung untuk hasil akhir. Akupun menggapai tip-ex yang
tergeletak di atas meja.
“Eh?” aku
tersentak. Ada tangan meraih tip-ex itu
juga. Siapa lagi kalau bukan Ihsan. Dan aku bersentuhan dengan tangannya, aku
tambah tersentak, khawatir. Dengan begini aku bisa membaca pikiran dan
merasakan perasaannya. Aku menoleh dengan cepat ke sebelah, dan Ihsan sedang
menatap tepat ke arah mataku. Dan yang aku rasakan saat itu adalah kasih
sayang, ingin melindungi, dan cinta. Oh God, perasaan siapakah ini? Aku? Atau
Ihsan?.
Note : Tocca = Sentuhan (Italia)
Keren Euyyy
BalasHapusceritanya bener bener keren nih , sahabat yang dingin bisa berubah baik #Absurd :v
oo Tocca itu artinya sentuhan
heheh kak kunjungan balik ya :)
adamhasnan.com
hehe makasih yaa.. iya, emang absurd ceritanya..
Hapushe em, nemu di google Tocca artinya sentuhan.
siap bos, dikunjungi ko :)