Langsung ke konten utama

Papan Catur (sebuah cerpen)



Djamena pagi ini terlihat sibuk. Semua siswa tengah bersiap-siap untuk melakukan aktivitas hariannya. Selama menjadi bagian dari Djamena, semua kegiatan harus on time. Tidak boleh ada yang terlambat walau semenit pun. Jadi pagi ini pun sama seperti pagi-pagi sebelumnya, semua warga Djamena sibuk. Ada yang sedang menyetrika baju seragamnya, ada yang sibuk memakai sepatu, ada yang sibuk menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah hari ini.
Diantara kesibukan orang-orang tersebut, Mutia dengan manisnya duduk tenang dibangku depan kamarnya. Sebuah tas tergeletak di sampingnya dan sepatu serta kaos kaki putih panjangnya sudah membalut kakinya rapi. Ia  sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Namun kegiatan pagi menjadi hal yang menarik baginya. Mutia selalu siap lebih awal untuk pergi ke sekolah dan pergi paling akhir. Ia akan duduk terlebih dahulu di depan kamarnya sambil memperhatikan kesibukan orang lain di pagi hari. Hal tersebut sudah menjadi kegiatan rutinnya setiap hari. Menurut Mutia, hal tersebut sangatlah menyenangkan.
“Mut, Ayo!”

Ternyata Qiran sudah berdiri di hadapan Mutia dengan seragam lengkap tapi dengan dasi sedikit miring. Mutia sudah bisa menebak, pasti sahabatnya ini memakai dasi seragamnya dengan terburu-buru. Mutia pun mengambil tasnya dan berjalan menyusul Qiran yang sudah beberapa langkah di depannya.
Alasan sebenarnya, Mutia selalu duduk terlebih dahulu di depan kamar sebelum berangkat ke sekolah adalah menunggu Qiran, sahabatnya yang sering terlambat bangun pagi dan mendapat giliran kamar mandi terakhir sehingga ia pun siap untuk berangkat sekolah terakhir juga. Namun Mutia sama sekali tidak keberatan untuk menunggu Qiran agar bisa berangkat bersama, karena Qiran adalah sahabat baiknya.
Untung saja mereka berdua tidak terlambat masuk kelas. Masih tinggal lima menit lagi bel tanda pelajaran pertama dimulai. Mutia pun duduk di bangku dekat jendela yang membuat ia bisa melihat langsung ke lapangan basket depan kelasnya, X-4. Dan Mutia menangkap sosok seseorang yang akhir-akhir ini mengusik pikirinnya. Yang ia kenal satu bulan lalu ketika mendaftar menjadi angota klub catur Djamena. Laki-laki itu tengah bermain basket bersama teman-temannya.
Dia laki-laki yang penuh pesona menurut Mutia. Walaupun postur tubuhnya bisa dibilang pendek untuk ukuran tinggi badan laki-laki, kakak kelasnya ini membuat Mutia begitu tergila-gila. Diam-diam, Mutia naksir kakak kelasnya itu.
“Liatin siapa Mut?”. Qiran menoleh ke arah pandangan Mutia mencari objek apa yang membuat sahabatnya ini begitu terkagum-kagum. Mutia sedikit terlonjak kaget mendapati Qiran sudah berada di sampingnya dan sama-sama memandangi lapangan tempat orang itu bermain basket. Mutia baru ingat, ia belum menceritakan tentang kakak kelasnya itu kepada Qiran.
“Arra, Qi. Anak kelas XII IPA 1”.
“Yang mana?”
“Itu tuh, yang lagi lari ngejar bola. Nah yang bawa bola ke ring”
“Oh, kamu naksir dia?”. Mutia tersenyum dan mengangguk. Kemudian bel pelajaran pertama pun berdering.
Qiran memang mudah sekali menebak apa yang di pikirkan oleh orang lain. Seakan-akan ia bisa membaca pikiran dan tahu apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain. Apalagi Mutia yang sering bersamanya. Qiran hanya menjawab sambil tertawa bahwa hal itu mudah sekali ditebak dari gerak-gerik orang, ketika Mutia menanyakan apakah Qiran bisa membaca pikiran. Ya, perasaan dan pikiran Mutia yang seringkali Qiran tebak dan ternyata memang benar adanya.
Aktivitas sekolah berjalan seperti biasanya. Saat jam istirahat, Mutia menghabiskan waktu di kantin bersama Qiran. Mereka menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan-obrolan ringan.
Qiran sama sekali tidak membahas tentang kejadian tadi pagi, yang Mutia terpergok memperhatikan Arra dari jendela kelas. Asalnya Mutia ingin bercerita banyak tentang Arra kepada Qiran, namun sepertinya sahabatnya ini lebih tertarik membahas topik lain. Mutia tidak enak jika tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. Tapi mau bagai mana pun, Qiran harus tetap tahu tentang cinta pertamanya itu di sekolah ini. Tentang Arra.
“Qi, menurut kamu Arra gimana?” Tanya Mutia sambil mengaduk es jeruknya.
“Gimana apa maksudnya?” Kata Qiran dengan mulut dipenuhi dengan bakwan.
“Ya orangnya”
“Ehm kayanya kamu lebih tau deh Mut. Kan, kamu yang satu club catur sama dia. Cerita dong cerita! ko, bisa sampai naksir dia?”. Mutia hanya menyeringai, kemudian mengalirlah ceritanya saat pertama kali ia bertemu dengan seorang yang bernama Arra.
Saat pertama kali masuk Djamena, Mutia sudah tertarik dengan klub caturnya yang sudah populer dan memenangkan beberapa turnamen catur ditingkat nasional. Sejak kecil, Mutia memang sudah gemar sekali main catur bersama ayahnya. Sehingga tidak heran jika Mutia jago dalam bermain catur.
Ruang klub catur Djamena berada di lantai dua gedung ekstrakulikuler. Berhadapan dengan gedung pendidikan. Terdapat sebuah kolam yang besar di antara dua gedung tersebut. Sehingga untuk mencapai gedung ekstrakulikuler para siswa harus melewati jembatan di atas kolam tersebut. Dan tepat di depan  ruang klub catur, Mutia melihat Arra baru saja keluar dari ruangan. Melihat Mutia berada dihadapannya, Arra tersenyum samar. Mutia membeku. Dan pada saat itu juga, Mutia menyukai Arra.
“huahahahaha Mut... Mut... Cuma di senyumin doang gitu, kamu langsung suka?” Qiran mencibir.
“yeee beneran, Qi!”
“itu Cuma ngefans kali, bukan suka”. Mutia mengerucutkan bibirnya, kesal. Qiran tidak percaya dengan ceritanya. Memang Mutia terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa perasaannya ini disebut dengan suka. Mungkin hanya fans seperti yang Qiran katakan tadi. Tapi entahlah, Mutia hanya ingin menikmatinya saat ini.
Djamena sekolah yang menyenangkan. Kegiatan pembelajaran efektif hanya dari hari Senin sampai hari Kamis. Hari Jumat dipakai untuk kegiatan peminatan bakat. Seperti Kelas sastra, kesenian, enterpreneur atau bakat lainnya. Mutia senang bernyanyi, sehingga ia pun memilih kelas kesenian bernyanyi.
Kelas kesenian sudah cukup ramai saat Mutia datang. Beberapa orang menyapanya ramah. Bu Jessy belum datang sebagai penanggung jawab kelas kesenian bagian bernyanyi. Mutia memilih duduk di sofa panjang yang berada di sudut ruangan.
Kemudian tiba-tiba saja seseorang datang dan duduk tak jauh dari tempat Mutia seraya menyapanya. Mutia menyapanya balik, dia teman satu kelasnya di kelas kesenian serta sama-sama satu klub di klub catur. Namanya Bagas. Mereka berdua adalah anak emasnya Bu Jessy. Menurut Guru yang paling stylist itu, suara Mutia dan Bagas adalah suara terbaik dari murid-muridnya yang lain. Tak heran jika mereka berdua cukup dekat.
“Bu Jess telat lagi” Ujar Bagas
“ya, seperti biasanya”
“bagaimana kalau kita duet Mut? Sambil ngisi waktu. Daripada bengong”
“Ide bagus! Ayo!”
Mutia mengikuti Bagas menuju tempat alat musik. Bagas mengambil gitar, dan Mutia berdiri di belakang mikrofon.
“mau lagu apa?” tanya Bagas.
“Terserah”
“Lucky? Lagunya Jason Mraz sama Colbie Caillat. Hafal ga?”
“Hafal kok, ayo!”. Kemudian Bagas memberi intro.

Do you hear me,
I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky oh my, baby I'm tryin
Boy I hear you in my dreams
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my heart
You make it easier when life gets hard

I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Dan seketika seluruh penghuni kelas kesenian mengalihkan perhatiannya pada Bagas dan Mutia yang sedang berduet. Suara mereka memenuhi ruangan, sangat merdu dan indah. Setiap orang menikmatinya dengan tenang.
Lagu berakhir, semua orang bertepuk tangan. Mutia dan Bagas pun saling melempar senyum, bangga dan senang. Bu Jessy sudah berada di antara murid-murid yang mendengar duet dari keduanya dan bertepuk tangan keras sekali sambil menyunggingkan senyum dengan bangganya.
“Suara kalian cocok. Teramat cocok untuk berduet” puji Bu Jessy.
“Terima kasih” jawab Bagas dan Mutia bersamaan.
“Oke everyone, ada kabar baik untuk kalian semua. Terutama untuk Bagas dan Mutia. Sekolah kami mendapat undangan lomba festival musik. Ada beberapa kategori lomba. Salah satunya adalah berduet. Maka dengan menyaksikan duet barusan yang sangat mengagumkan, saya tetapkan yang mengikuti lomba duet ini adalah Bagas dan Mutia”. Ujar Bu Jessy dengan penuh spirit seperti biasanya. Sambil membagikan selebaran info tentang festival musik.
“bagi yang berminat, silahkan daftarkan nama kalian pada sekretaris, oke?. Dan rajinlah berlatih”. Bu Jessy menghampiri Bagas dan Mutia. “Bagas, Mutia, jadilah pemenang dalam lomba ini. Oke?. Suara kalian adalah suara emas yang sangat langka”. Bagas dan Mutia hanya menahan senyum.
Keesokan harinya, adalah jadwal untuk ekstrakulikuler. Mutia selalu senang jika hari Sabtu tiba. Ia selalu bersemangat ketika bangun pagi dan bersiul riang selama di kamar mandi. Apalagi alasannya selain akan berjumpa dengan Arra, pujaan hatinya.
Seperti hari ini, Mutia datang lebih awal ke tempat klub. Dan ternyata baru ada seorang di sana. Berharap orang itu adalah Arra, namun Mutia harus menelan rasa kecewa ketika mendapati Bagas sedang duduk di salah satu kursi dengan sebuah buku di tanganya.
Bagas mengalihkan pandangan dari buku pada Mutia yang baru datang. Kemudian tersenyum menyapanya. Mutia membalas. Tak lama kemudian, Arra memasuki ruangan. Dan sedikit terkejut mendapati Bagas dan Mutia berada di ruang klub tersebut.
“eh hay! Aku kira tadi tidak ada orang”. Arra tersenyum lebar. Mutia hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Ia merasa tercekat melihat Arra tersenyum seperti barusan. Bagas membalas senyuman Arra, namun Mutia hanya diam terpaku.
“kalian sudah mendengar berita dari Pak Ginza, tentang turnamen catur nasional?”. Tanya Arra yang langsung mengambil tempat di samping Bagas. Mutia tetap berdiri di tempatnya.
“belum kak. Kapan tuh turnamennya?” Bagas yang menjawab.
“masih lama kok, sekitar 2 bulanan lagi. Sekolah kita sudah tiga kali berturut-turut memenangkan turnamen tahunan itu. Jadi ya, saya sih berharap aja ada yang tetap mempertahankan predikat master caturnya dari sekolah kita”.
“tahun lalu, kakak ikut?”
“oh jelas. Itu kesempatan yang bagus. Tapi sayang Cuma bertahan sampai semi final. Yang juara, Kak Juan. kenal kan?”
“kak Juan kelas XII IPA 3 itu?”
“iya, dan siapa tau nanti yang dapet juara dari anggota klub yang baru. Saya dengar dari Pak Ginza, kalian jago-jago”. Mutia hanya mendengarkan sambil mengulum senyum. Menyembunyikan kegugupannya.
“Pak Ginza menyuruh saya untuk melatih anggota baru dan menyeleksinya siapa yang berhak ikut turnamen. Jadi yang berniat bisa daftarkan nama pada saya”
“saya kak.. sa.. ya.. mau daf.. daftar”. ujar Mutia susah payah.
“oh siapa namamu?”. Seketika lutut Mutia lemas mendengar pertanyaan dari Arra. Bagaimana mungkin dia tidak tahu namanya sama sekali, padahal Mutia sudah menyukai Arra sejak lama. Mutia tidak mempercayainya. Rasa kecewa menyergap dan kemudian ia menghembuskan nafas berat.
“sorry, siapa namamu? kamu jadi pendaftar pertama”. ulang Arra. Mutia masih memandangi Arra nanar.
“Mutia kak, namanya Mutia. Dan saya juga mau daftar”. akhirnya Bagas yang menjawab pertanyaan Arra.
“oke baiklah, sudah ada dua orang. Mutia dan Bagas. untuk seleksinya, info menyusul ya”. Kemudian Arra bangkit dari kursi dan pergi keluar ruang klub setelah menyampaikan pesan untuk berlatih.
Mutia sudah kehilangan mood nya untuk bermain catur. Otaknya tidak bisa diajak berpikir untuk menjalankan pion-pion catur. Maka saat latihan pun ia kalah telak tiga kali berturut-turut.
Pikirannya masih melayang pada kejadian tadi, Arra tidak mengetahui namanya. Bodohnya lagi, ia tidak langsung menjawab saat Arra bertanya untuk yang kedua kalinya. Akhirnya, Bagas yang menjawab. Dan justru Arra mengetahui nama Bagas tanpa ia bertanya terlebih dahulu. Mutia kecewa, teramat kecewa.
Malam harinya, ia menceritakan kejadian yang menyebalkan tadi pagi pada Qiran. Mutia sudah menebak tanggapan yang akan diberikan Qiran. Ia akan tertawa terbahak-bahak menertawakan kebodohannya. Tentu saja tebakan Mutia tidak meleset. Qiran benar-benar tertawa lepas sebelum Mutia menyelesaikan ceritanya.
“Mut… Mut… udah berapa lama sih kamu suka dia? Dan belum pernah kenalan? Hahaha dasar!”
“Ya, mau gimana lagi Qi, aku kan malu. Kalau ketemu di koridor sekolah aja aku suka sembunyi. Dan ya, aku kira dia sudah mengenalku”
“hahaha ya udah, lain kali kalau naksir cowo jangan lupa kenalan dulu ya non”. Qiran kembali tertawa dan Mutia mengembungkan pipinya kesal.
Hari-hari selanjutnya Mutia sibuk dengan latihan nyanyi dan latihan catur. Setiap pulang sekolah, ia selalu singgah di ruang kesenian untuk berlatih dengan Bagas. Mereka akan duet dengan lagu Lucky, Jason Mraz yang mereka nyanyikan beberapa minggu lalu.
Sore ini pun mereka latihan lagi di ruang kesenian. Bagas sangat pandai bermain gitar. Samar-samar terdengar petikan senar gitar dari arah kelas kesenian. Mutia mengintip dari jendela, Bagas sedang memainkan gitarnya sambil menyanyikan sebuah lagu. Ia tidak mengenali lagu yang dinyanyikan oleh Bagas. Tapi lagu itu sangat bagus. Kemudian, Mutia pun langsung membuka pintu dan berjalan kea rah Bagas.
“Lagunya bagus. Lagunya siapa? rasanya aku belum pernah dengar”
“Eh oh, lagu yang tadi. Bukan lagu siapa-siapa kok” Bagas menyeringai sedikit terkejut juga ketika Mutia datang dengan tiba-tiba dan mendengar lagu yang barusan dinyanyikannya.
“Oh, aku tebak. Lagu itu buatanmu kan? hayo ngaku!” 
“iya, Mut. Aku kadang iseng buat lagu. Dan yang tadi itu buat seseorang”

To be continued.


Sebenernya cerita ini salah satu cerpen di buku aku yang pertama. Sebentar lagi bakalan terbit, atau lebih tepatnya bakalan di cetak. Ya apalah itu namanya. jadi kalau penasaran, tunggu bukunya jadi aja yaa..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Buat Daftar Gambar/Tabel/Bagan Otomatis

Sebenernya memang sudah banyak yang tahu soal bagaimana buat daftar isi, daftar tabel, daftar gambar secara otomatis di file Microsoft Word. Tapi, gue ingin sharing saja dan siapa tahu bermnafaat. Biasanya per-daftar isi-an secara otomatis ini dipake buat di penulisan ilmiah seperti makalah, karya tulis, maupun skripsi. Karena biasanya tugas-tugas ngetik itulah yang banyak gambarnya, tabel, dan bagan. Tapi tidak menutup kemungkinan, daftar isi otomatis ini dipake dalam proses ketik file apapun. Jadi kita langsung ke step by step nya ya.

Fasilitas Gratis untuk Mahasiswa Multikampus

Udara pagi yang dingin menyelimuti Kota Bandung, khususnya di lingkungan kampus yang terkenal dengan lambang gajahnya itu. Terlihat beberapa mahasiswa merekatkan jaketnya, mengusir dingin, sedang duduk-duduk di depan gerbang utama Institut Teknologi Bandung (ITB). Waktu menunjukkan masih pukul 06.00, akan tetapi gerbang utama tersebut sudah cukup ramai oleh mahasiswa dengan bawaan barang masing-masing. Ada yang hanya membawa ransel ringan, dan ada yang terlihat membawa ransel yang cukup berat, di sampingnya ada yang hanya memangku ransel sambil memainkan smartphone. Walaupun sibuk masing-masing, mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menunggu.

14 Tahun Medali Perak di Tangan (Alifa Rahmania Amanuloh)

Aku pernah punya cita-cita untuk jadi reporter. Maka aku pun sengaja join ekskul jurnalistik di sekolah. Seneng banget waktu ketua ngasih tugas buat wawancara pemenang medali perak bidang ekonomi di Olimpiade Sains Nasional 2013. Jadilah aku buat janji sama Alifa Rahmania Amanuloh sang peraih medali perak tersebut untuk wawancara atas nama Ath-Thullab (nama klub jurnalistik sekolah). Walaupun bisa dibilang umurnya masih cukup muda, yaitu 14 tahun tapi gadis berasal Manado ini memiliki otak yang kinclong untuk soal tentang perekonomian. Keren kan?!!. Dan kebetulan Alifa adalah teman sekelasku dan saudara asuhku. Jadi gampang deh buat bikin jadwal wawancara sama dia. Kira-kira beginilah hasil wawancaranya. Alifa waktu baru turun dari pesawat di bandara Jalaludin, Gorontalo