Langsung ke konten utama

Wawancara Ahmad Fuadi: Dari Jurnalis ke Novelis



“Mantra” sederhana, man jadda wajada, siapa yang besungguh-sungguh akan berhasil, mampu mengantarkan Ahmad Fuadi pada kesuksesan hidupnya. “Mantra” tersebut juga yang diceritakan dalam novel populer Negeri 5 Menara dan mampu menginspirasi ribuan bahkan jutaan orang di Indonesia. Lelaki asal Bayur, Sumatera Barat ini mengarang trilogi novel berdasarkan pengalaman hidupnya dalam meraih kesuksesan dari mulai sekolah di pesantren Gontor. Novel tersebut yaitu Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara.

Setelah lulus kuliah di Universitas Padjadjaran jurusan Hubungan Internasional, Fuadi menjadi wartawan majalah Tempo. Kemudian pada tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Sambil kuliah, Fuadi menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of America (VOA). Berita bersejarah seperti tragedi 11 September dilaporkan olehnya dari Pentagon, White House dan Capitol Hill. Kesuksesan di bidang kewartawanannya pun tidak diragukan lagi.

Hingga saat ini, Fuadi telah mendapatkan sembilan beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia telah mendapatkan kesempatan sekolah dan tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, Inggris dan Italia. Karyanya, Negeri 5 Menara telah diangkat ke layar lebar pada tahun 2011 dan mendapat beberapa penghargaan. Kini, Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker, serta membangun yayasan sosial. Di tengah kesibukannya, dia menyempatkan diri untuk bertemu dan bersedia diwawancarai oleh Hayfa Nurul, mahasiswa Jurnalistik Fikom UNPAD, di sebuah restoran Plaza Senayan Jakarta, pada hari Jumat (13/5/2016). Fuadi dengan ramah, menceritakan kembali pengalaman-pengalaman ketika menulis novel pertamanya. 


 

Trilogi novel Anda berdasarkan pengalaman pribadi, mengapa Anda memilih untuk menjadikannya novel, tidak biografi?
Karena novel artinya menulis fiksi. Ceritanya bisa kita kembangkan sendiri jadi bisa lebih bervariasi, sedangkan biografi tidak. Padahal kan tidak selalu hidup kita menarik untuk diceritakan. Makanya, saya memilih membuat novel.

Apa motivasi Anda membuat novel?
Dulu awalnya saya menulis untuk mencari jalan keluar dari kegalauan, hehe. Karena saya waktu nulis, tahun 2008, sudah sekolah ke empat negara, sudah kerja, hidup saya sudah nyaman. Tapi ada yang mengganggu pikiran saya, kalau sudah nyaman terus kenapa? Pada saat itu, saya ingat pesan guru di pondok, bahwa manusia itu hidup bukan untuk kenyamanan, tapi bermanfaat untuk orang lain. Teman-teman saya sudah banyak yang punya pesantren, yang manfaatnya begitu besar. Nah, kalau saya manfaatnya apa? Dari situlah muncul keinginan untuk jadi bermanfaat bagi orang lain.

Apa kendala yang dirasakan ketika proses penerbitan novel?
Untuk novel pertama tidak mengalami kesulitan, karena di trigger oleh kenangan masa lalu yang kuat. Justru mendapatkan kendala ketika menuliskan novel kedua dan ketiga. Karena kenangannya tidak sekuat ketika masih di pondok pesantren.

Dari ketiga novel karya Anda, terdapat “mantra” yang Anda dapatkan ketika sekolah di Gontor, apakah Gontor menjadi tempat yang spesial bagi Anda?
Iya, karena sangat spesialnya kalau ada orang yang bertanya hal yang paling berkesan dalam hidup, saya akan menjawab selama empat tahun berada di Gontor, di pesantren. Tidak akan pernah terlupakan. Dramatisnya lagi, saya dipaksa masuk pesantren oleh ibu saya. Tapi ternyata saya mendapatkan banyak manfaat dan pengalaman di sana, yang kalau diceritakan tidak akan habis ceritanya.

Novel pertama Anda, Negeri 5 Menara sudah diangkat menjadi film, apakah kedua novel lainnya akan diangkat ke layar lebar juga?
Novel “Ranah 3 Warna” dalam proses script writing sekarang. Kalau semuanya lancar, tahun ini bisa shooting dan tahun depan bisa tayang.

Nama Anda mulai dikenal ketika novel Anda terbit dan menjadi best seller, apa kesan yang Anda rasakan?
Saya merasa bersyukur, karena niatnya saya berbagi. Berbagi cerita, semangat, inspirasi melalui cerita saya. Mungkin kalau dibaca satu atau dua orang lumayan, tapi ternyata sekarang sampai ribuan. Bagi saya hal tersebut adalah bonus.

Apakah ada kejadian menarik ketika proses menulis novel dan setelah novel itu terbit?
Saya jadi bertemu dengan masa lalu saya. Bertemu dengan teman-teman lama semasa di Gontor, pulang kampung juga untuk riset, mencoba lihat foto-foto zaman lalu, membuka buku harian sewaktu di Gontor, bahkan saya membuka surat-surat yang pernah saya kirim ke Ibu saya, dan baca ulang. Jadi, yang saya rasakan adalah menulis itu proses pengenalan diri lebih dalam. Sadar bahwa ternyata diri sendiri punya dendam misalnya, atau amarah, dan mampu untuk berdamai. 

Awalnya Anda berprofesi sebagai wartawan Tempo, apakah Anda merasa kesulitan ketika menulis fiksi?
Perbedaannya adalah ketika menjadi wartawan, menulis berita harus sesuai dengan fakta, 5W dan 1H kan. Sedangkan menulis novel, harus dengan perasaan dan emosi. Hal tersebut cukup sulit dan menjadi tantangan bagi saya. Bahkan editor saya mengatakan bahwa novel ini bukan karya fiksi, tapi laporan wartawan yang panjang. Karena masih kurang unsur emosinya dan detail. Sampai saat ini saya masih mempelajari hal itu.

Apa yang Anda lakukan menghadapi kesulitan menulis fiksi?
Saya banyak belajar dan baca. Banyak belajar dari novelis-novelis, mempelajari bagaimana para novelis itu membuat cerita. Banyak baca buku juga, buku panduan menulis novel. Buku-bukunya pun saya cari kemana-mana.

Anda lebih senang ketika menjadi wartawan atau menjadi novelis?
Saya saat ini lebih menikmati dan senang karya fiksi. 

Mengapa Anda lebih senang menjadi novelis?
Alasannya, kalau menjadi wartawan harus menulis berita, sedangkan berita hanya terpaku pada kejadian. Alasan kedua, fiksi lebih bebas dan tidak ada yang mengatur. Kalau menulis berita lebih banyak rambu-rambu, seperti ditentukan harus ambil sudut pandang mana, ada redaktur juga. Jadi, saya lebih menikmati karya fiksi.

Setelah sukses dengan novelnya Anda mendirikan Komunitas Menara, mengapa?
Saya berusaha untuk melaksanakan nilai-nilai dalam novel Negeri 5 Menara dalam gerakan sosial yang nyata. Salah satunya mendirikan komunitas yang bergerak dalam bidang pendidikan. Seperti mendirikan sekolah gratis dan taman baca. Programnya mendirikan 1000 Pendidikan Usia Dini (PAUD) gratis se-Indonesia. Dana yang didapatkan pun dari sebagian hasil penjualan novel saya, juga donasi dari masyarakat.

Apakah harapan untuk membangun 1000 sekolah gratis sudah tercapai?
Sampai saat ini sudah ada 5 PAUD yang tersebar di Provinsi Banten, Sumatera Barat, dan Jawa Barat.

Mengapa Komunitas Menara memilih untuk mendirikan PAUD? 
Karena 65 persen anak Indonesia belum mendapat pendidikan dini yang layak, sekitar 30.000 desa belum punya sekolah PAUD, dan usia dini atau golden age (usia 4-5 tahun) adalah usia yang sangat tepat untuk menanamkan karakter terbaik.

Menurut Anda, apa hubungannya antara membaca dan menulis?
Membaca membantu kita menulis. Membaca akan membuat kita punya bahan untuk menulis. Membaca kemudia membuat kita bisa mengenali style menulis orang lain. Membaca juga membuat kita semangat untuk menulis, karena berpikiran orang lain saja bisa menulis seperti itu, mengapa kita tidak bisa?

Apakah Anda akan menulis novel lagi setelah trilogi Negeri 5 Menara?
Ya, saya lagi nulis novel lagi rencanya judulnya “Anak Danau”

Anda banyak menerima beasiswa sekolah di luar negeri, apa rahasianya?
Tipsnya hanya ada satu, ada keinginan yang kuat untuk belajar. Keinginannya harus benar-benar dari hati. Kalau ada keinginan tinggal cari jalannya, kalau tidak punya uang carilah beasiswa. Beasiswa itu banyak, tingal kitanya yang rajin cari. Dulu saya sampai tanya sana-sini, sekarang mah gampang tinggal browsing aja. Beasiswa juga bukan hanya untuk orang pinter saja, tapi untuk orang yang melebihkan usahanya.


Komentar

  1. mb hyafa assalamualaikum, mohon ijin artikelnya digunakan oleh saya sebagai bahan penelitian. terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Buat Daftar Gambar/Tabel/Bagan Otomatis

Sebenernya memang sudah banyak yang tahu soal bagaimana buat daftar isi, daftar tabel, daftar gambar secara otomatis di file Microsoft Word. Tapi, gue ingin sharing saja dan siapa tahu bermnafaat. Biasanya per-daftar isi-an secara otomatis ini dipake buat di penulisan ilmiah seperti makalah, karya tulis, maupun skripsi. Karena biasanya tugas-tugas ngetik itulah yang banyak gambarnya, tabel, dan bagan. Tapi tidak menutup kemungkinan, daftar isi otomatis ini dipake dalam proses ketik file apapun. Jadi kita langsung ke step by step nya ya.

Fasilitas Gratis untuk Mahasiswa Multikampus

Udara pagi yang dingin menyelimuti Kota Bandung, khususnya di lingkungan kampus yang terkenal dengan lambang gajahnya itu. Terlihat beberapa mahasiswa merekatkan jaketnya, mengusir dingin, sedang duduk-duduk di depan gerbang utama Institut Teknologi Bandung (ITB). Waktu menunjukkan masih pukul 06.00, akan tetapi gerbang utama tersebut sudah cukup ramai oleh mahasiswa dengan bawaan barang masing-masing. Ada yang hanya membawa ransel ringan, dan ada yang terlihat membawa ransel yang cukup berat, di sampingnya ada yang hanya memangku ransel sambil memainkan smartphone. Walaupun sibuk masing-masing, mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menunggu.

14 Tahun Medali Perak di Tangan (Alifa Rahmania Amanuloh)

Aku pernah punya cita-cita untuk jadi reporter. Maka aku pun sengaja join ekskul jurnalistik di sekolah. Seneng banget waktu ketua ngasih tugas buat wawancara pemenang medali perak bidang ekonomi di Olimpiade Sains Nasional 2013. Jadilah aku buat janji sama Alifa Rahmania Amanuloh sang peraih medali perak tersebut untuk wawancara atas nama Ath-Thullab (nama klub jurnalistik sekolah). Walaupun bisa dibilang umurnya masih cukup muda, yaitu 14 tahun tapi gadis berasal Manado ini memiliki otak yang kinclong untuk soal tentang perekonomian. Keren kan?!!. Dan kebetulan Alifa adalah teman sekelasku dan saudara asuhku. Jadi gampang deh buat bikin jadwal wawancara sama dia. Kira-kira beginilah hasil wawancaranya. Alifa waktu baru turun dari pesawat di bandara Jalaludin, Gorontalo