Berawal
dari ketidaksengajaan, sebuah tim dari laboratorium entimologi Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung (ITB), menemukan lalat
pemakan sampah organik. Pada awalnya, tim tersebut hanya mencari serangga yang dinilai
berguna untuk manusia. Kemudian mereka menemukan lalat hitam besar ini selalu
ada pada sampah-sampah organik. Maka mulailah dilakukan penelitian terhadap
lalat tersebut.
Di dalam laboratoriumnya, Dr. Ramadhani
Eka Putra, dosen SITH ITB, menceritakan awal mula penelitian tersebut sambil
memisahkan larva-larva dari sampah. Tujuan awalnya, memang bukan untuk
pengelolaan sampah. Akan tetapi, penelitian ini sudah pernah dilakukan di
Amerika Serikat, sehingga ia bersama tim mencari lalat tersebut ada atau tidak
di Indonesia. Ternyata di Depok ada lembaga penelitian ikan hias yang sudah
meneliti lalat ini, bekerja sama dengan pemerintah Kota Depok. Selain itu
secara bersamaan ternyata beberapa kelompok masyarakat sudah ada yang
mengembangkan pengolahan sampah menggunakan lalat black soldier ini. Namun, untuk tingkat ilmu sainsnya masih rendah.
Biasanya kelompok masyarakat itu hanya menggunakan lalat tersebut untuk pakan
ternak saja.
Hermetia
illucens, atau lalat tentara hitam adalah lalat yang termasuk keluarga Stratiomyidae. Larva yang sudah berumur
dewasa tidak dianggap sebagai hama. Sebaliknya, larva lalat tentara hitam
memiliki peran yang sama dengan cacing merah, yaitu sebagai pengurai dalam menghancurkan
bahan organik dan mengembalikan nutrisinya ke tanah.
Larva lalat tentara hitam adalah sumber protein yang
sangat baik untuk pakan ternak, dan nutrisi hewan peliharaan. Larva ini juga
sangat rakus dan bisa digunakan untuk mengurai sisa makanan rumah tangga dan
produk limbah pertanian.
Panjang lalat berkisar antara 15-20 mm
dan mempunyai waktu hidup lima sampai delapan hari. Dalam
mengurai sampah-sampah organiknya, larva ini butuh waktu sekitar dua atau tiga
minggu. Tergantung jenis sampah organik yang diurainya. Jika mengandung lebih
banyak serat maka akan semakin lama proses penguraiannya.
“Lalat ini tidak rewel
yah, sampah apa saja bisa dimakan asalkan sampah organik. Pernah dicoba
menggunakan kertas nasi, ternyata tetap dimakan. Tapi plastik-plastiknya tidak,”
ujar lelaki yang biasa dipanggil Rama itu, dengan tawa ringannya. Hasil
akhirnya, setelah bahan organik itu diurai oleh larva-larva tersebut bisa
dimanfaatkan menjadi pupuk kompos. Jika sampah organiknya lebih banyak
mengandung air maka bisa menjadi pupuk cair dan bagus untuk tanaman. Maka dari
itu, selain bisa menjadi pakan ternak, hasil uraian dari larva ini bisa menjadi
media tumbuh atau pupuk kompos.
Kelebihannya, pupuk kompos ini dibuat tidak ada campur
tangan manusia. Pada umumnya, pembuatan pupuk kompos harus diaduk oleh manusia.
Tapi dengan larva ini manusia tidak ikut campur sama sekali. Hanya dibiarkan,
kemudian jika sudah selesai tinggal memisahkan larva tersebut dari sampah.
Seperti yang sedang dilakukan Rama di laboratoriumnya.
Selain menjadi pupuk kompos dan pakan ternak, hasil
dari uraian sampah organik ini bisa juga dijadikan tepung pupai. Harapannya
tepung pupai ini sebagai cikal bakal pengganti tepung ikan.
Hanya saja, larva-larva ini membutuhkan oksigen yang
banyak. Jadi tidak bisa mengurai sampah dalam jumlah yang banyak. Jika
dipaksakan proses penguraiannya tidak akan optimal. Harapannya, bagi Rama dan
timnya dari penemuan ini, bisa mengurangi jumlah sampah yang tersebar.
“Selama ini kan, sampah non organik bisa di daur
ulang. Banyak bank sampah, tapi kalau untuk sampah organik masih belum ada,”
tambahnya.
Menurut data dari PD. Kebersihan Kota Bandung, timbulan
sampah masyarakat Kota Bandung saat ini diproyeksikan sebesar 1.549 ton per hari
dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 2.748.732 dan sampah yang
terangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir sampah (TPA) sebesar kurang lebih 1100 ton
per hari, dengan komposisi sampah organik sebesar 57% dan anorganik sebesar
43%. Bahkan
menurut data dari panitia Adipura Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutana
Republik Indonesia perkiraan jumlah timbulan sampah tahun
2015-2016 di Indonesia mencapai 1.099 juta ton per tahun. Dengan persentase
jenis sampah organik sebesar 60%, sampah plastik 14%, sampah kertas 9%, logam
4,3%,karet 5,5%, kaca 1,7% dan lainnya 2,4%.
Proses penguraian
menggunakan lalat tentara hitam ini masih dilakukan dalam jumlah yang kecil.
Belum sampai tahap produksi yang besar. Tim penelitian pun masih mengenalkan
proses penguraian ini pada komunitas-komunitas yang tersebar di Bandung dan
sekitarnya. Harapannya, lalat ini bisa dimanfaatkan oleh banyak orang,
sekaligus bisa mengurangi sampah-sampah yang ada di Indonesia. “Tapi karena ini
lalat, masyarakat masih banyak yang takut,” ujar Rama sambil tertawa.
NB: Tulisan ini pernah dimuat oleh CNN Student Indonesia berikut link nya (link)
NB: Tulisan ini pernah dimuat oleh CNN Student Indonesia berikut link nya (link)
Komentar
Posting Komentar