Memasuki
Desa Cikole, Lembang, Bandung Utara akan disuguhi dengan pemandangan hutan
pinus yang menjulang serta udara yang sejuk nan teduh. Pepohonan tinggi yang
hijau, sungguh menyegarkan mata. Terdengar siulan-siulan burung yang indah
memadukan suasana yang tenang. Rambu-rambu lalu lintas yang mengingatkan rawan
pohon tumbang, terpampang di sisi jalan setiap 20 meter. Sepanjang sisi Jalan
Raya yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Subang tersebut,
memang ditumbuhi hamparan tanaman pinus.
Pohon
pinus merupakan contoh tanaman jenis taiga, yang daunnya berbentuk jarum. Pohon
pinus, akan dijumpai pada daerah yang beriklim sedang atau dalam ketinggian
1.500-2.500 m di atas permukaan laut. Sehingga tidak heran, jika udara di
kawasan Desa Cikole ini sejuk dan dingin. Sebagian besar hamparan hutan pinus
ini dijadikan tempat wisata, seperti tempat untuk outbond, camping ground, paintball, atau penginapan. Akan tetapi,
terdapat satu kawasan yang tidak terlalu mencolok menjadi salah satu pilihan
orang-orang untuk berwisata. Tempat tersebut adalah Pal 16 Wisata Hutan Pinus.
Harga
tiket masuk ke kawasan hutan pinus ini Rp 5.000 per orang. Jika pengunjung
menggunakan kendaraan dikenai biaya tambahan sebesar Rp 3.000 untuk satu motor,
dan Rp 5.000 untuk satu mobil. Menurut Parno, petugas dari Perhutani, tempat
wisata ini dibuka sejak bulan Juni 2016. Kebanyakan pengunjung adalah yang
hendak beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Maklum, kawasan ini
berada di pinggir lintasan jalan raya, yang menghubungkan Kabupaten Bandung
dengan Kabupaten Subang. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari tempat wisata
Gunung Tangkuban Perahu.
Rabu,
26 April lalu tampak sedikit pengunjung yang datang ke kawasan Wisata Hutan
Pinus itu. Ada beberapa anak muda sedang asyik berfoto, dan di bangku lainnya
ada sepasang suami istri sedang bercengkrama hangat. Hari itu, memang hari
biasa, bukan hari libur, jadi tidak terlalu banyak orang yang mengunjunginya.
“Kalau hari libur atau akhir pekan, pengunjung bisa 500 sampai 1000 orang,”
ujar Parno. “Kalau hari biasa kaya
gini, paling 50 orang,” lanjutnya.
Seorang
pengunjung, bernama Fildza Awwalia, mahasiswa Kedokteran Universitas Padjadjaran
merasa puas dengan tempat wisata ini. “Saya kesini karena penasaran saja, tapi
ternyata enak tempatnya. Cukup buat menghilangkan penat dari kegiatan kampus,”
ujarnya. “Akan tetapi sangat disayangkan, masih terdengar suara-suara kendaraan
yang sedikit mengganggu,” lanjut Fildza. Suara kendaraan yang melintasi jalan
raya tersebut memang sedikit bising, akan tetapi keasrian tempat wisata ini
mampu mengalihkan perhatian pengunjung. Buktinya, tempat ini masih ramai
dikunjungi.
Hutan
pinus seluas 2 ha ini disulap menjadi tempat wisata sederhana yang menarik. Ada
banyak gazzebo yang sengaja dibuat
untuk memfasilitasi pengunjung. Hampir disetiap pohon yang bersebelahan,
terdapat ayunan jaring di tengahnya. Cocok sekali untuk sekedar bersantai dan
menikmati alam. Selain itu, terdapat berbagai properti yang sengaja dibuat
untuk area berfoto pengunjung, seperti rangkaian bentuk hati yang terbuat dari
bambu, selfie deck yang juga terbuat
dari bambu, dan ada hammock (ayunan
yang digantung di antara batang pohon) yang bertingkat. Cukup mengeluarkan uang
Rp 10.000, pengunjung bisa bersantai di salah satu hammock tersebut.
Kesederhanaan
yang nikmat, itu yang dirasakan ketika berada di tempat wisata ini.
Kesederhanaan ini berasal dari gagasan pengelola, yaitu Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) Giri Makmur Desa Cikole yang bekerjasama dengan Perhutani KPH
Bandung Utara.
“Hutan
pinus ini milik Perhutani. Kami, LMDH sebagai pengelolanya,” ujar Iyeng, Kepala
Pengelola Harian Pal 16 Wisata Hutan Pinus. Iyeng bercerita, bahwa tidak mudah
untuk mendirikan tempat wisata ini. Rencana mendirikannya sudah lama diidamkan
oleh anggota LMDH Desa Cikole. Lembaga tersebut memang beranggotakan masyarakat
yang tinggal di Desa Cikole. Pada awalnya, kawasan hutan pinus itu akan
dibangun menjadi sebuah trek sepeda.
Akan tetapi setelah didiskusikan, LMDH bersama Perhutani memutuskan untuk
membangun kawasan wisata sebagai tempat bersantai dan beristirahat.
Proses
yang ditempuh untuk membangun tempat wisata ini tidak begitu lama. Karena sudah
ada keinginan yang menggebu dari masyarakat untuk memiliki tempat wisata
sendiri. Pada akhirnya masyarakat desa yang tergabung dalam LMDH bergotong
royong, menyulap hutan pinus menjadi tempat wisata yang nyaman. Menurut Iyeng,
motivasi tersebut hadir karena ada rasa dorongan untuk memiliki tempat wisata
sendiri, dan menyaingi pihak swasta yang sudah banyak membangun tempat wisata
di daerah ini. “Jangan sampai, jadi tamu di daerah sendiri,” begitulah motivasi
Iyeng beserta kelompok LMDH untuk membangun tempat wisata ini. Iyeng bercerita
pengalamannya dahulu, Iyeng sempat berjualan di kawasan wisata Gunung Tangkuban
Perahu. Jika ia akan memasuki kawasan tersebut, tanpa menunjukkan kartu tanda
sebagai penjualnya, akan dianggap sebagai pengunjung dan bayar sesuat tiket
masuk. Akhirnya, ia bersama LMDH mampu membuka tempat wisata walaupun sederhana
tapi sudah cukup memuaskan bagi anggota LMDH memiliki tempat wisata sendiri.
Pembangunan
Pal 16 Wisata Hutan Pinus ini juga banyak memberikan manfaat bagi masyarakat
setempat. Selain keuntungan dari tiket masuk masuk ke kas LMDH, masyarakat juga
memperoleh lapangan kerja seperti membuka warung, penjaga parkir, dan penjaga
kebersihan. Seperti Nurhayati, salah satu pemilik warung yang juga menyewakan
beberapa ayunan sangat merasa diuntungkan dengan dibukanya tempat wisata ini.
Warungnya ramai oleh pengunjung, apalagi kalai weekend, karena penjual di kawasan tersebut bisa dihitung dengan
jari jumlahnya. Begitupula dengan Nisa, perempuan berumur 35an tersebut
mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga kebersihan di kawasan itu. Ia berkata
dengan senyum dan sapu di tanganya, bahwa dulu ia hanya bekerja sebagai penjaga
warung, tapi sekarang ia mendapatkan pekerjaan tetap setiap hari.
Sambil
menyeruput kopinya, Iyeng menjelaskan juga bahwa pembukaan tempat wisata ini
tidak melupakan untuk melestarikan lingkungan. “Kami membuka tempat wisata ini
tetap melestarikan lingkungan, seperti dibangun daerah serapan air. Kalau hujan
deras, masih ada kawasan untuk menampung air tersebut”. Bahkan pohon-pohon yang
ditebang untuk keperluan fasilitas tempat wisata, sudah ditanam kembali dengan
tanaman-tanaman lain. Fasiltas yang dibangun pun merupakan fasilitas sederhana,
agar merasa tetap alami dan melestarikan lingkungan. Bangku-bangku dan meja
yang disediakan juga sebagian besar dari sisa tebangan pohon pinus yang sudah
tua, dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menjadi fasilitas yang menarik dan
alami. Pengelola juga menyediakan tempat sampah, dan menghimbau pengunjung agar
menjaga kebersihan tidak membuang sampah sembarangan. Himbauan-himbauan
tersebut giat diingatkan oleh pengelola. “Kami membuka tempat wisata ini tidak
ingin merusak tatanan alam, apalagi berdampak ke masyarakat luas,” tambah
Iyeng.
Tulisan ini sudah dimuat oleh CNN Student Indonesia berikut link nya (link)
Tulisan ini sudah dimuat oleh CNN Student Indonesia berikut link nya (link)
Komentar
Posting Komentar