Langsung ke konten utama

Cara Hepi Memaafkan dan Melupakan


Judul               : Anak Rantau
Penulis             : Ahmad Fuadi
Tahun Terbit    : Juli 2017
Penerbit           : Falcon Publishing
ISBN               : 9786026051493
Halaman          : 382 halaman

 Dia tatap lagi setumpuk uang tabungan itu. Sekonyong-konyong sebuah kesadaran baru datang menamparnya. Sesungguhnya tiket yang diburu-burunya bukan untuk terbang ke Jakarta, melainkan untuk berdekatan  lagi dengan ayahnya. Dia tidak sadar selama ini dia rindu ayahnya. Rindu yang selama ini dia selubungi erat-erat dengan sedih dan marah. Dia marah karena sayang. Dia dendam karena rindu. (hal 347).

Sekitar bulan Mei tahun 2016 lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk wawancara ekslusif dengan penulis yang telah mendapatkan 10 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Penulis tersebut tak lain adalah Ahmad Fuadi. Dalam wawancara tersebut Fuadi sempat menyinggung bahwa sedang menggarap novelnya yang keempat yaitu Anak Rantau. Ketika itu, saya tidak terlalu membahasnya, karena topik wawancara saya hanya seputar tiga bukunya yang dalam waktu singkat menjadi National Best Seller. Ketiga novel tersebut merupakan trilogi dari novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna,dan Rantau 1 Muara. Di mana, trilogi tersebut merupakan pengalaman dari pribadinya.

Novel ini berkisah tentang seorang anak bernama Hepi yang telah ditinggalkan oleh ibunya dan hanya tinggal bersama ayahnya, Martiaz dan kakaknya, Dora. Hepi adalah seorang siswa kelas 2 di salah satu SMP di Jakarta, tapi ketika pembagian raport Hepi mengejutkan Martiaz dengan isi raport yang kosong dan dinyatakan tidak naik kelas bahkan disaranka untuk pindah sekolah. Padahal di mata Martiaz, Hepi adalah anak yang cerdas dalam mata pelajaran di sekolahnya. Seketika, Martiaz sangat kecewa dan marah karena ulah Hepi yang sering bolos tanpa sepengatahuannya dan tidak menjadi siswa yang patuh pada aturan.

Akibatnya, Hepi dipindahkan ke kampung halaman Martiaz yaitu Tanjung Durian dan tinggal bersama kakek dan neneknya. Pada awalnya, Hepi sangat marah dan dendam karena merasa dibuang oleh ayahnya. Tapi hal tersebut merupakan hukuman bagi Hepi karena tidak sekolah dengan benar di Jakarta. Martiaz dengan tegas mengatakan bahwa jika Hepi ingin kembali ke Jakarta maka beli tiket pulang sendiri, dengan uang hasil usahanya sendiri.

Di kampung yang dekat dengan Danau Talago itu, Hepi bertemu dengan sahabatnya, Attar dan Zen. Merekalah yang terus menghibur Hepi ketika ditinggalkan ayahnya. Sekaligus mereka juga yang menemani Hepi dalam petualangannya di Kampung Tanjung Durian itu. Karena Hepi sangat marah kepada ayahnya, maka ia berusaha untuk mengumpulkan uang untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta. Anak umur 14 tahun itu kerja membantu siapa saja asalkan mendapatkan uang. Hepi ingin membuktikan pada Matiaz bahwa ia bisa bertanggung jawab dan kembali ke Jakarta dengan usahanya sendiri.

Namun, selama ia berusaha mengumpulkan uang tersebut Hepi mendapatkan pengalaman seru bersama kedua temannya. Dari mulai mereka menangkap pencuri di kampung, sampai berhadapan dengan bandar narkoba. Selain itu, Hepi jadi banyak belajar dari orang-orang di kampung itu. Terutama setelah Hepi bertemu dengan Pandeka Luko di rumah hitam yang seram. Gosip yang beredar di kampung, Pandeka Luko adalah orang yang misterius, menyeramkan, dan bisa mencetak uang. Dan alur cerita mulai terasa lebih seru dan menegangkan ketika Hepi sudah bertemu dengan Pandeka Luko.

Novel Anak Rantau ini membantah anggapan bahwa merantau itu dari kampung ke kota. Tapi makna yang jauh lebih dalam, yaitu pergi dari kota dan datang ke kampung pun bisa disebut merantau. Hal itulah yang terjadi kehidupan Hepi, anak Jakarta yang ditinggalkan di kampung namun justru ia bisa belajar banyak hal dari kehidupannya. Tapi, novel ini tidak hanya membahas tentang merantau, tapi bercerita juga tentang luka-obat, dendam-rindu, dan memaafkan serta melupakan. Segala rasa tersebut dikemas oleh Fuadi menjadi sebuah cerita yang terasa nyata dan unik. Pesan-pesan moral pun sangat ditonjolkan dalam novel ini. Seperti kalimat yang sering disebut oleh orang tua Minang alam takambang jadi guru, yang artinya alam terkembang jadikan guru.

Latar tempat dari novel ini hampir seluruhnya berada di ranah Minang, tepatnya di Padang dan dekat dengan sebuah danau yang dalam novel diberi anam Danau Talago. Mungkin penulis mendapatkan referensi tempat tersebut dari kampun halamannya yang dekat dengan Danau Maninjau. Tapi budaya Minang dalam cerita ini sangat kental. Mungkin bagi pembaca dari suku yang sama akan terasa dekat dengan cerita di novel ini. Seringkali penulis menyusupkan pepatah-pepatah yang dituliskan menurut orang-orang tua Minang. Bahkan panggilan-panggilan dalam percakapan disisipkan Bahasa Minang. Karena novel ini juga, saya jadi tahu sedikit tentang adat-adat Minang.

Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel ini juga dengan karakter yang kuat. Seperti kakeknya Hepi yang memiliki karakter yang keras, dan Hepi yang serba ingin tahu dan kerap kali sengaja melakukan kesalahan agar ia mendapatkan perhatian. Seperti sikap anak umur 14 tahun pada umunya.

Tapi, alur cerita yang dibawakan pada novel ini cukup lamban menurut saya. Karena pada awal bagian cerita tidak ada yang menarik menurut saya. Hampir setengah buku bagian awal hanya membahas tentang usaha-usaha Hepi untuk mendapatkan uang agar ia kembali ke Jakarta, dan kemarahannya kepada ayahnya. Namun sesekali pada bagian awal itu diceritakan tentang tokoh lain. Jadi menurut saya, hampir setengah novel ini penjelasan atau pelengkap cerita dari tokoh-tokoh pendukung sehingga memang sedikit bosan ketika membacanya. Tapi jika tanpa bagian awal itu, cerita selanjutnya tidak akan menyambung. Atau jika terlewati, maka ceritanya tidak lengkap.

Setangah novel terakhir berulah alur cerita menjadi menarik dan membuat penasaran. Tepatnya setelah Hepi bertemu dengan Pandeka Luko. Pesan-pesan moral semakin banyak bermunculan yang merupakan petuah dari Pandeka Luko.

Novel ini tidak seperti ketiga novel lainnya yang dituliskan oleh A. Fuadi. Trilogi tersebut lebih terasa nyata. Dari latar tempat, alur cerita, dan tokohnya. Walaupun pasti disajikan dalam bentuk fiktif, tapu tetap terasa nyata. Tapi novel Anak Rantau ini berbeda karena tidak terasa terlalu nyata bagi saya. Tapi karya fiktif tidak ada yang benar-benar nyata bukan? Hanya saja, pembawaan cerita pada novel ini tidak mengalir seperti ketiga novel lainnya. Masih terasa gep atau kesenjangan cerita pada novel ini. Walaupun tidak terlalu terlihat, namun terasa berbeda dari trilogi Negeri 5 Menara. Hal ini mungkin karena trilogi tersebut berdasarkan kisah nyata penulis, tapi novel ini merupakan karya fiktif yang menggunakan referensi dari kampung halaman penulis.

Jarak waktu terbit dari novel terakhir trilogi Negeri 5 Menara, yaitu Rantau 1 Muara pun cukup jauh. Fuadi menerbitkan dua sekuel Negara 5 Menara pada tahun 2012 dan 2013 yaitu Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Namun, novel keempatnya terbit pada tahun 2017. Mungkin Fuadi membutuhkan riset lebih dalam untuk novelnya yang ini. Tapi diluar itu semua, novel ini masih sangat bagus untuk dinikmati dan dibaca. Ciri khas Fuadi, yang selalu menyematkan pepatah dalam novelnya masih ia pertahankan pada novel keempatnya. Sehingga tidak heran jika novel ini juga mendapatkan kategori National Best Seller sama seperti trilogi Negeri 5 Menara.


Pada akhir cerita, Fuadi berhasil memberikan pesan moral yang dalam sesuai dengan harapannya yang ia tulis pada akhir halaman novel ini. Yaitu cerita tentang luka-obat, dendam-rindu, dan memaafkan serta melupakan. Sehingga buku ini sangat cocok untuk semua umur, terutama bagi anak SMP seumuran Hepi. Karena kisah hidupnya cukup menjadi contoh yang baik. Cocok juga bagi para perantau, apalagi jika alasan merantau karena kemarahan akan sesuatu. Serta bagi mereka yang memiliki dendam. Siapa tau rasa dendam tersebut merupakan pengungkapan lain dari rasa rindu yang terlalu dalam. 


NB: Resensi ini telah dimuat dalam Koran Jakarta edisi Senin, 6/11/2017 (link resensi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Buat Daftar Gambar/Tabel/Bagan Otomatis

Sebenernya memang sudah banyak yang tahu soal bagaimana buat daftar isi, daftar tabel, daftar gambar secara otomatis di file Microsoft Word. Tapi, gue ingin sharing saja dan siapa tahu bermnafaat. Biasanya per-daftar isi-an secara otomatis ini dipake buat di penulisan ilmiah seperti makalah, karya tulis, maupun skripsi. Karena biasanya tugas-tugas ngetik itulah yang banyak gambarnya, tabel, dan bagan. Tapi tidak menutup kemungkinan, daftar isi otomatis ini dipake dalam proses ketik file apapun. Jadi kita langsung ke step by step nya ya.

Fasilitas Gratis untuk Mahasiswa Multikampus

Udara pagi yang dingin menyelimuti Kota Bandung, khususnya di lingkungan kampus yang terkenal dengan lambang gajahnya itu. Terlihat beberapa mahasiswa merekatkan jaketnya, mengusir dingin, sedang duduk-duduk di depan gerbang utama Institut Teknologi Bandung (ITB). Waktu menunjukkan masih pukul 06.00, akan tetapi gerbang utama tersebut sudah cukup ramai oleh mahasiswa dengan bawaan barang masing-masing. Ada yang hanya membawa ransel ringan, dan ada yang terlihat membawa ransel yang cukup berat, di sampingnya ada yang hanya memangku ransel sambil memainkan smartphone. Walaupun sibuk masing-masing, mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menunggu.

14 Tahun Medali Perak di Tangan (Alifa Rahmania Amanuloh)

Aku pernah punya cita-cita untuk jadi reporter. Maka aku pun sengaja join ekskul jurnalistik di sekolah. Seneng banget waktu ketua ngasih tugas buat wawancara pemenang medali perak bidang ekonomi di Olimpiade Sains Nasional 2013. Jadilah aku buat janji sama Alifa Rahmania Amanuloh sang peraih medali perak tersebut untuk wawancara atas nama Ath-Thullab (nama klub jurnalistik sekolah). Walaupun bisa dibilang umurnya masih cukup muda, yaitu 14 tahun tapi gadis berasal Manado ini memiliki otak yang kinclong untuk soal tentang perekonomian. Keren kan?!!. Dan kebetulan Alifa adalah teman sekelasku dan saudara asuhku. Jadi gampang deh buat bikin jadwal wawancara sama dia. Kira-kira beginilah hasil wawancaranya. Alifa waktu baru turun dari pesawat di bandara Jalaludin, Gorontalo